Salatiga, kota kecil di kaki Gunung Merbabu, memiliki sejarah panjang sebagai kota hunian elite sejak masa kolonial. Dua ruas jalan bersejarah yang menjadi bagian dari tata kota kolonial adalah Julianalaan (kini Jl. Moh. Yamin) dan Willemlaan (kini Jl. Monginsidi).
Kedua jalan ini dahulu merupakan kawasan eksklusif bagi pejabat kolonial, saudagar kaya, dan tokoh penting, termasuk salah satu pengusaha pribumi tersukses pada masanya, Nitisemito, sang Raja Kretek dari Kudus.
Jalan Julianalaan (Jl. Moh. Yamin): Kawasan Pejabat Kolonial
Pada masa Hindia Belanda, Julianalaan menjadi kawasan elite tempat tinggal para pejabat tinggi pemerintah kolonial. Nama jalan ini merujuk pada Putri Mahkota Juliana, yang kelak menjadi Ratu Juliana dari Belanda. Rumah-rumah di sepanjang jalan ini dibangun dengan arsitektur kolonial khas Eropa, yang mengadaptasi desain tropis dengan jendela besar, ventilasi luas, dan halaman yang asri.

Salah satu bangunan bersejarah yang masih bertahan di kawasan ini adalah Rumah Tinggal Hasmo Sugijarto, yang terletak di Jl. Moh. Yamin No. 4. Dibangun sekitar tahun 1919, rumah ini menjadi bukti nyata dari konsep kota modern kolonial di Salatiga.
Pada 17 Juni 2015, bangunan ini menerima penghargaan pelestarian dari Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jawa Tengah, bersama dengan beberapa bangunan bersejarah lainnya di kota ini.
Jalan Willemlaan (Jl. Monginsidi): Hunian Bangsawan dan Saudagar Kaya

Sementara itu, Willemlaan (Jl. Monginsidi) dikenal sebagai kawasan hunian para saudagar kaya, tokoh berpengaruh, dan elite pribumi yang memiliki hubungan erat dengan pemerintah kolonial.
Nama Willemlaan merujuk pada Raja Willem III dari Belanda, mencerminkan status eksklusif jalan ini. Bangunan di sepanjang jalan ini memiliki arsitektur kolonial yang megah, dengan perpaduan gaya art deco dan neo-klasik. Beberapa rumah masih bertahan hingga kini, meskipun telah mengalami renovasi atau perubahan fungsi.
Nitisemito: Sang Raja Kretek yang Memiliki Rumah di Willemlaan

Salah satu tokoh yang pernah memiliki properti di Willemlaan adalah Nitisemito, seorang pengusaha pribumi asal Kudus yang dikenal sebagai Raja Kretek Indonesia. Ia adalah pemilik perusahaan rokok Bal Tiga, yang pada puncak kejayaannya pada tahun 1920-an dan 1930-an, menjadi salah satu industri terbesar di Nusantara.
Nitisemito bukan hanya seorang pengusaha sukses, tetapi juga pelopor dalam sistem branding dan pemasaran modern di Indonesia. Ia adalah orang pertama yang memperkenalkan konsep kemasan bermerek untuk rokok kretek dan memanfaatkan strategi pemasaran yang canggih, seperti iklan di media massa, penggunaan agen distribusi, dan sponsorship acara kesenian.
Dengan kekayaannya yang melimpah, Nitisemito membeli beberapa properti mewah, termasuk sebidang tanah dan rumah di Willemlaan, Salatiga. Rumah ini menjadi salah satu simbol kesuksesannya sebagai pribumi yang berhasil menembus dominasi ekonomi kolonial. Keputusannya untuk memiliki properti di kawasan elite yang mayoritas dihuni oleh pejabat Belanda menunjukkan statusnya yang dihormati dalam dunia bisnis pada masanya.
Namun, kejayaan Nitisemito tidak bertahan selamanya. Setelah krisis ekonomi global dan berbagai tantangan internal dalam bisnisnya, perusahaan Bal Tiga mengalami kemunduran, hingga akhirnya tutup. Meski demikian, jejaknya sebagai pelopor industri rokok kretek tetap dikenang, dan keberadaannya di Salatiga menjadi bagian dari sejarah kota ini.
Perubahan Nama dan Transformasi Jalan
Setelah Indonesia merdeka, nama-nama jalan diubah untuk mencerminkan semangat nasionalisme. Julianalaan menjadi Jl. Moh. Yamin, untuk menghormati Muhammad Yamin, tokoh pergerakan nasional dan perumus naskah Sumpah Pemuda. Sementara itu, Willemlaan berganti menjadi Jl. Monginsidi, untuk mengenang Robert Wolter Monginsidi, pahlawan nasional yang berjuang melawan Belanda di Sulawesi.
Saat ini, meskipun kedua jalan ini telah mengalami modernisasi, bangunan-bangunan kolonial yang masih bertahan tetap menjadi saksi sejarah perjalanan Salatiga. Keberadaan rumah-rumah tua, termasuk yang pernah dimiliki oleh Nitisemito, menambah daya tarik historis kawasan ini dan mengingatkan kita pada era kejayaan kota ini sebagai hunian elite.
Jalan Moh. Yamin (Julianalaan) dan Monginsidi (Willemlaan) bukan sekadar ruas jalan biasa, tetapi menyimpan jejak sejarah kolonial dan perjuangan ekonomi pribumi. Dari pejabat Belanda hingga pengusaha sukses seperti Nitisemito, kawasan ini menjadi bagian dari perjalanan panjang Salatiga sebagai kota yang kaya akan warisan budaya. Dengan pelestarian yang tepat, kedua jalan ini dapat terus menjadi sumber inspirasi dan kebanggaan bagi masyarakat Salatiga dan Indonesia.
(Redaksi/Dikutip dari berbagai sumber)