Istana Djoen Eng, sebuah bangunan megah yang pernah menjadi kediaman Kwik Djoen Eng, Raja Gula dari Salatiga, menyimpan sejarah panjang tentang kejayaan, kejatuhan, dan perubahan fungsinya. Terletak di Jalan Diponegoro, Sidorejo, Kota Salatiga, Jawa Tengah, bangunan ini telah mengalami berbagai transformasi dari masa ke masa, mencerminkan dinamika sosial dan politik yang melingkupinya.
Masa Kejayaan Kwik Djoen Eng
Pada awal abad ke-20, Salatiga menjadi salah satu pusat ekonomi di Jawa Tengah, di mana komunitas Tionghoa memiliki kedudukan sosial yang setara dengan orang Eropa. Mereka berperan sebagai perantara dalam perdagangan dan industri, termasuk Kwik bersaudara yang dikenal sebagai pengimpor teh dari Taiwan.
Kwik Djoen Eng, salah satu dari Kwik bersaudara, berhasil mengembangkan usahanya hingga ke berbagai wilayah di Indonesia dan luar negeri. Pada tahun 1921, ia membangun sebuah kediaman mewah di Salatiga yang pembangunannya memakan waktu empat tahun dan diresmikan pada tahun 1925. Istana ini bukan hanya tempat tinggal, tetapi juga simbol kemewahan dengan fasilitas seperti kebun binatang mini, kolam, lapangan tenis, serta kebun kopi. Bangunan utama memiliki lima kubah besar, dikelilingi oleh empat kubah lainnya, mencerminkan arsitektur megah pada masanya.
Namun, kejayaan itu tidak berlangsung lama. Krisis ekonomi global tahun 1930 menghantam berbagai sektor, termasuk bisnis Kwik Djoen Eng. Akibat kebangkrutan dan terlilit utang, seluruh kompleks miliknya disita oleh Javaasche Bank sebagai upaya pelunasan hutang.
Alih Fungsi dan Peran Strategis dalam Sejarah
Setelah berpindah kepemilikan, kompleks Djoen Eng dibeli oleh kongregasi Katolik Fratres Immaculate Conceptions pada tahun 1940. Namun, bangunan ini sempat dibiarkan kosong hingga akhirnya digunakan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda sebagai kamp interniran bagi warga Belanda saat Jepang mulai menduduki Indonesia.
Saat pendudukan Jepang, kompleks ini juga beralih fungsi sebagai markas polisi dan tentara Indonesia dalam waktu singkat. Kemudian, antara tahun 1946 hingga 1949, bangunan ini dijadikan tangsi tentara Belanda sebelum akhirnya dihuni oleh Bruder FIC pada tahun 1949.
Seiring waktu, bagian belakang gedung digunakan sebagai sekolah menengah pertama (SMP) hingga tahun 1974, sementara gedung utama dijadikan asrama bagi siswa hingga tahun 1966. Karena tidak sepenuhnya cocok untuk keperluan sekolah dan asrama, renovasi besar dilakukan, meski beberapa bagian tetap dibiarkan dalam bentuk aslinya, seperti ruang makan, ruang rekreasi, tiang pergola di taman, serta beberapa interior gedung.
Transformasi Menjadi Institut Roncalli
Pada tahun 1969-1970, gedung utama kembali direnovasi seiring dengan meningkatnya peran Institut Roncalli. Demi menyesuaikan dengan kondisi sosial-politik saat itu, menara dan kubah yang menjadi ciri khas bangunan ini dibongkar karena sentimen anti-Tionghoa yang berkembang di masyarakat. Lantai dua gedung utama kemudian difungsikan sebagai kamar bagi peserta kursus.
Meskipun mengalami berbagai perubahan, struktur utama bangunan masih mempertahankan bentuk aslinya. Sejak transformasi ini, kompleks tersebut dikenal sebagai Institut Roncalli, sebuah pusat pendidikan bagi biarawan dan biarawati yang mempelajari akar-akar religius sesuai dengan ajaran Konsili Vatikan II.
Kini, Istana Djoen Eng tidak hanya menjadi saksi bisu perjalanan seorang saudagar Tionghoa, tetapi juga merekam jejak sejarah Salatiga dari masa kolonial, pendudukan Jepang, revolusi kemerdekaan, hingga perubahan sosial yang terus berlangsung hingga era modern. (Guruh Cahyono/Dari Berbagai Sumber)