Kheren Dian Rhenata*
Di Indonesia, masyarakat tentunya tidak asing dengan istilah “Dinasti Politik.” Pengertian dinasti politik itu sendiri adalah suatu fenomena dimana kekuasaan hanya dikuasai oleh suatu keluarga dan berbentuk patronase karena kekuasaan diwariskan kepada keluarga atau kerabat dekat.
Menurut Jeffrey A. Winters, dinasti politik merupakan salah satu bentuk oligarki di mana segelintir keluarga mempertahankan kekuasaan politik dan ekonomi melalui pewarisan jabatan dan pengaruh dalam pemerintahan.
Nordholt dan Klinken juga menjelaskan bahwa dinasti politik sering berkembang dalam sistem demokrasi yang lemah, di mana akses terhadap kekuasaan lebih bergantung pada hubungan keluarga daripada kompetensi atau pemilihan yang adil.
Secara umum, Dinasti Politik juga sering dikaitkan dengan tantangan terhadap demokrasi karena dapat memperkuat kelompok tertentu dalam sistem politik dan mengganggu kestabilan demokrasi karena berpotensi menyebabkan munculnya KKN (Kolusi, Korupsi, Nepotisme).
Fenomena Dinasti Politik di Indonesia menjadi semakin di perbincangkan, terutama sejak keluarga Presiden Joko Widodo (Jokowi) digugat melakukan penyimpangan berupa membangun dinasti politik untuk keluarganya.
Jokowi dan sekeluarga digugat oleh Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) dan Pergerakan Advokat (Perekat) Nusantara ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Petrus Selestinus selaku perwakilan penggugat menegaskan bahwa hal yang dilakukan Jokowi bertentangan dengan TAP MPR No.XI/1998, Undang-Undang (UU) dan Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik.
Petrus menilai, reformasi yang dibangun selama 25 tahun telah diruntuhkan oleh nepotisme dinasti politik Jokowi hanya dalam waktu satu tahun terakhir yang dapat dilihat dari sikap dan perilaku presiden.
Hal ini, menurut dia, merupakan bentuk pengkhianatan terhadap reformasi yang belum maksimal diwujudkan setelah 25 tahun berjalan.
Berikut ini adalah beberapa anggota keluarga Jokowi yang mendapat jabatan penting dalam pemerintahan:
1. Gibran Rakabuming Raka (putra sulung Jokowi) yang sekarang terpilih menjadi wakil presiden RI pada pilpres 2024 mendampingi Prabowo Subianto setelah Mahkamah Konsitusi mengubah aturan batas usia minimal capres/cawapres. Pernah menjabat juga sebagai Wali Kota Surakarta pada tahun 2020.
2. Kaesang Pangarep (putra bungsu Jokowi) terjun ke dunia politik dan pada tahun 2023, bergabung dengan Partai Solidaritas Indonesia (PSI) dan langsung menjadi ketua umum partai tersebut.
3. Bobby Nasution (menantu Jokowi yang menikah dengan Kahiyang Ayu) yang terpilih menjadi Wali Kota Medan pada tahun 2020 dan sekarang terpilih menjadi Gubernur Sumatera Utara yang menjabat sejak 20 Februari 2025.
Keberadaan beberapa anggota Jokowi dalam pemerintahan dan berbagai jabatan tersebut menandai praktik nepotisme dinasti politik yang memanfaatkan jaringan patronase.
Patronase dalam politik mengacu pada dukungan atau sponsor dalam bentuk uang, jabatan, ataupun proyek dari seorang patron (elite politik atau orang berpengaruh) kepada individu atau kelompok tertentu yang memiliki hubungan dekat dengan penguasa.
Dalam kasus ini, jaringan patronase dapat dilihat melalui beberapa aspek seperti banyaknya dukungan mesin politik yang kuat termasuk partai besar seperti PDI-P dan Gerindra, koneksi bisnis dan koneksi dengan elite politik yang mempermudah jalannya karir politik keluarga Jokowi dan para pengusaha mendapatkan keuntungan melalui proyek strategis pemerintah, serta peran institusi yang melanggengkan kekuasaan. Hal tersebut bisa dilihat dari Mahkamah Konstitusi yang membuat keputusan yang memungkinkan Gibran untuk maju menjadi cawapres, dimana hal tersebut menimbulkan kontroversi karena Anwar Usman yang menjabat sebagai Mahkamah Konstitusi adalah ipar dari Jokowi, ayah dari Gibran.
Anwar Usman mengabulkan putusan MK No. 90/PUU-XXI 2023 tentang batas usia calon capres/cawapres yang terbit pada 16 Oktober 2023, hal tersebut menunjukkan potensi menguntungkan kepentingan keluarga Jokowi.
Kesimpulan:
Jika Nepotisme Dinasti Politik dibiarkan berkembang dan beranak pinak ke seluruh sentra kekuasaan hingga ke suprastruktur politik akan menjadi ancaman serius terhadap pembangunan demokrasi dan menggeser kedaulatan rakyat menjadi kedaulatan nepotisme.
Hal tersebut tentunya dapat menyebabkan kekuasaan yang otoriter dan tidak jauh pada meningkatnya korupsi dan kolusi (kembali pada era orba) yang dimana terdapat pemusatan wewenang kekuasaan dan hal tersebut sangat jauh dari Demokrasi.
Meski begitu, dinasti politik tak hanya terjadi di keluarga Jokowi. Para elite politik pun mencoba melanggengkan kekuasaan, minimal di tingkat partai politik yang dipimpinnya, dengan memberi jabatan prestisius.
Di PDI Perjuangan, Ketua Umum Megawati Soekarnoputri memberi jabatan untuk Puan Maharani dan Prananda Prabowo, Susilo Bambang Yudhoyono dan Agus Harimurti Yudhoyono di Partai Demokrat, di Partai Nasdem ada Surya Paloh mengamankan anaknya, Prananda Surya Paloh. Selanjutnya, Hary Tanoesoedibjo di Partai Perindo melanggengkan kekuasaan melalui anaknya, Angela Tanoesoedibjo, dan masih banyak lagi contohnya.
Sekarang, rakyat yang katanya merupakan pemilik kekuasaan tertinggi tinggal memilih, mau melanggengkan kekuasaan dinasti politik atau menghentikan dominasi dari keluarga tertentu.
*Penulis adalah Mahasiswi Program Studi Sosiologi, Fiskom UKSW Universitas Kristen Satya Wacana