Di tengah semilir angin yang berhembus lembut di Tegalrejo, Kecamatan Argomulyo, Kota Salatiga, ribuan warga berkumpul dalam balutan tradisi yang telah diwariskan turun-temurun. Sadranan, sebuah ritual yang lebih dari sekadar doa bagi leluhur, menjelma menjadi perayaan budaya yang mempererat kebersamaan dan semangat gotong-royong menjelang Ramadan.
Menghormati Leluhur, Menjalin Kebersamaan
Di sepanjang jalan menuju Makam Shuufi, suasana terasa begitu sakral. Lantunan doa terdengar syahdu, berpadu dengan tawa anak-anak yang ikut serta dalam prosesi ini. Bagi masyarakat Tegalrejo, Sadranan bukan hanya tentang mengenang orang-orang terkasih yang telah berpulang, tetapi juga tentang menjaga nilai-nilai sosial yang telah lama terjalin.
Ketua RW 4 Tegalrejo, Mugi Harjono, menuturkan bahwa tradisi ini diikuti oleh seluruh warga, dari RT 1 hingga RT 11. “Sadranan adalah wujud penghormatan kepada leluhur sekaligus sarana memperkuat kerukunan antarwarga. Di sini, kami bersama-sama menjaga warisan budaya agar tetap lestari,” ujarnya, Jumat (14/2/2025).
Arak-arakan 1.000 Tumpeng, Simbol Syukur dan Persatuan
Salah satu daya tarik yang paling dinantikan adalah arak-arakan 1.000 tumpeng. Warga dengan penuh semangat membawa tumpeng-tumpeng beragam warna dan ukuran menuju area makam. Tradisi ini menjadi simbol syukur kepada Tuhan dan bentuk nyata gotong-royong masyarakat.
“Melalui arak-arakan ini, kami ingin menegaskan bahwa rasa syukur dan kebersamaan adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Satu tumpeng mungkin kecil, tetapi ketika digabungkan menjadi seribu, itulah kekuatan solidaritas kami,” kata Mugi dengan penuh kebanggaan.
Tradisi yang Berkembang, Sakralitas yang Kian Terjaga
Seiring waktu, Sadranan di Tegalrejo mengalami perkembangan. Jika dulu hanya berupa doa bersama, kini tradisi ini semakin meriah dengan unsur budaya Jawa yang lebih kuat. Kesenian daerah, seperti tembang macapat dan wayang kulit, turut menghiasi rangkaian acara, memberikan sentuhan sakral yang lebih dalam.
Budiman, salah satu warga yang telah mengikuti Sadranan sejak kecil, merasakan perubahan ini dengan penuh antusiasme. “Dulu, Sadranan hanya sederhana, tapi sekarang semakin terasa sakral dan penuh makna. Semua generasi, dari anak-anak hingga orang tua, turut serta. Ini menunjukkan bahwa tradisi ini tetap hidup dan terus berkembang,” tuturnya.
Lebih dari Sekadar Ritual, Ini adalah Warisan
Lurah Tegalrejo, Ponco Margono Hasan, menegaskan bahwa Sadranan bukan hanya ritual spiritual, tetapi juga ajang mempererat hubungan sosial. “Acara ini mengajarkan kita tentang birrul walidain, penghormatan kepada orang tua dan leluhur. Selain itu, Sadranan juga menjadi momen bagi warga untuk saling mengenal dan menjaga persaudaraan. Kami berharap tradisi ini dapat terus diwariskan kepada generasi mendatang,” katanya.
Harmoni dalam Tradisi, Menjaga Jati Diri
Di balik kemeriahannya, Sadranan adalah cermin dari kearifan lokal yang mengajarkan pentingnya menghormati leluhur, menjaga kebersamaan, dan melestarikan budaya. Dengan melibatkan seluruh lapisan masyarakat, tradisi ini membuktikan bahwa akar budaya dapat menjadi perekat sosial yang kuat.
Di Tegalrejo, Sadranan bukan sekadar ritual tahunan, tetapi warisan berharga yang terus hidup dalam harmoni dan kebersamaan.
(Guruh Cahyono)