SALATIGA,Jurnalwarga.net – Pasar Pagi di Jalan Jenderal Sudirman, Salatiga, merupakan denyut nadi perdagangan tradisional yang telah berakar sejak masa kolonial Belanda. Kawasan ini dulunya merupakan bagian dari Solosche Weg, jalur utama yang menghubungkan Semarang–Salatiga–Surakarta, dan sejak lama menjadi pusat aktivitas ekonomi karena lokasinya yang strategis, dekat dengan pusat pemerintahan, kawasan pecinan, serta perbankan.
Sejak era Hindia Belanda, di sepanjang jalan ini telah berdiri berbagai toko kelontong, penginapan, restoran, hingga pusat perdagangan kecil. Pertumbuhan Salatiga sebagai kota administratif semakin memperkuat geliat ekonomi di sepanjang jalur ini.
Memasuki tahun 1960-an hingga 1990-an, kawasan ini semakin hidup dengan hadirnya Pasar Berdikari — pasar tradisional yang juga berfungsi sebagai terminal angkutan kota dan desa. Di sinilah cikal bakal “Pasar Pagi” mulai muncul. Pedagang kecil secara alami memanfaatkan waktu subuh untuk menjajakan hasil bumi, sayuran, dan kebutuhan pokok sebelum aktivitas pasar resmi dimulai. Rutinitas ini lambat laun menjadi bagian dari tradisi masyarakat Salatiga.
Pada tahun 1995, Pemerintah Kota Salatiga membongkar Pasar Berdikari dan menggantinya dengan Pasar Raya II, sebuah proyek ambisius berupa gedung enam lantai yang dirancang sebagai pusat perdagangan modern. Namun, krisis moneter 1997–1998 menggagalkan penyelesaian penuh proyek ini. Meski bangunan berdiri, banyak lantai kosong dan tidak berfungsi optimal. Namun demikian, aktivitas ekonomi rakyat, termasuk Pasar Pagi, tetap bertahan dan berkembang di kawasan Jalan Jenderal Sudirman.
Bertahan di Tengah Pandemi
Saat pandemi COVID-19 melanda pada tahun 2020, pola aktivitas Pasar Pagi mengalami penyesuaian besar. Pemerintah Kota Salatiga menutup Jalan Jenderal Sudirman dari pukul 01.00 hingga 06.30 WIB setiap hari untuk menghindari kerumunan. Selain itu, diterapkan pengaturan jarak antar pedagang, kewajiban memakai masker, penyediaan tempat cuci tangan, serta pembatasan jumlah pembeli. Kebijakan ini dianggap efektif menjaga keberlangsungan aktivitas pasar sekaligus meminimalkan risiko penyebaran virus. Bahkan, pengelolaan ini sempat menjadi rujukan bagi daerah lain. (Sumber: Kompas Regional, 2020)
Kondisi Terkini: Pasar Pagi Tetap Eksis
Hingga tahun 2025, Pasar Pagi tetap menjadi denyut kehidupan ekonomi tradisional Salatiga. Setiap dini hari mulai pukul 01.00 WIB, ratusan pedagang menjajakan berbagai kebutuhan pokok mulai dari sayuran, buah, ikan, pakaian, hingga barang rumah tangga. Untuk menjaga kebersihan dan ketertiban, berbagai aksi bersih-bersih rutin dilakukan, melibatkan Polres Salatiga, komunitas lokal, dan Dinas Perdagangan.
Polemik Pemindahan Pedagang: #SavePasarPagi
Di tengah perjalanan panjangnya, kini Pasar Pagi menghadapi tantangan baru. Pada Sabtu (26/4/2025), ratusan pedagang menggelar aksi damai di kawasan Pasar Raya 1, membentangkan poster bertuliskan #SavePasarPagi sebagai bentuk penolakan terhadap rencana pemindahan mereka ke Pasar Rejosari.
Sekretaris Paguyuban Pedagang Pasar Pagi Salatiga, Reny Mulyaningsih, menegaskan bahwa aksi ini dipicu minimnya sosialisasi terkait rencana relokasi.
“Awalnya tanggal 17 kami dipanggil Dinas Perdagangan untuk sosialisasi program 100 hari kerja Wali Kota. Tapi ternyata isinya relokasi pedagang. Tidak lama setelah itu, sudah ada pemetaan lokasi di Pasar Rejosari, padahal sosialisasi ke semua pedagang belum dilakukan,” kata Reny, Sabtu (26/4/2025) kemarin.
Kritik tajam pun datang dari Komisi B DPRD Kota Salatiga. Ketua Komisi B, Bagas Aryanto, meminta pemerintah melakukan kajian komprehensif sebelum mengambil keputusan terkait pemindahan.
“Harus ada kajian yang mendalam tentang kondisi pasar saat ini, juga kesiapan lokasi baru yang akan dipakai untuk pasar pagi,” tegas Bagas dalam jumpa pers di kantor DPRD, Jumat (25/4/2025) lalu.
Manifestasi Budaya Ekonomi Rakyat
Pasar Pagi Jalan Jenderal Sudirman bukan sekadar tempat jual beli, melainkan representasi sejarah panjang, budaya ekonomi rakyat, serta adaptasi atas berbagai tantangan zaman — mulai dari krisis ekonomi hingga pandemi. Kini, di tengah dinamika rencana relokasi, eksistensi Pasar Pagi kembali diuji.
Akankah tradisi ekonomi rakyat yang sudah bertahan sejak masa kolonial ini tetap lestari di tempat asalnya? Atau akan dipaksa beradaptasi di lokasi baru? Waktu dan keputusan pemangku kebijakan akan menjadi penentunya. (Tim Redaksi)