Agus Subekti*
Indonesia sebagai negara kepulauan dengan julukan Ring of Fire, menjadi salah satu daya tarik tersendiri di mata dunia. Dengan tanah yang subur, sumber air melimpah, sumber daya alam apa yang tidak dimiliki negeri ini.
Latar belakang budaya, ekonomi dan teknologi masa lalu, seakan tidak bisa membuat negeri ini bangkit dari ketertinggalan. Khusus di bidang pertanian secara umum, belum adanya visi besar untuk mengelola semua sumber daya menjadi sebuah solusi menuju implementasi Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
Pertanian maju, modern dan berkelanjutan seakan hanya mimpi bagi para pelakunya. Belakangan ini, kebutuhan petani dalam mencukupi kebutuhan jalur irigasi, jalan usaha tani dan pengadaan alat – alat pertanian masih dijadikan obyek transaksional menjelang suksesi kepemimpinan. Seyogianya, dengan adanya roadmap dan visi yang jelas dalam menjaga produktifitas dan kualitas hasil budidaya petani, menjadikan arah kemajuan pertanian Indonesia bukan sekedar obyek proyek anggaran, namun bisa menjadi jenjang kemajuan untuk kemandirian bangsa.
Cerita klasik petani harga murah saat panen melimpah, ketersediaan pupuk langka dan mahal, benih tidak berkualitas dan tidak adanya pendampingan tulus untuk membangun sebuah kawasan pertanian terpadu, menjadikan petani sebagai obyek bulan – bulanan kartel dan mafia pangan.
Tidak mudah untuk meluruskan kebijakan yang memihak petani, menggeser tata niaga komoditas pangan. Namun demikian bukan tidak mungkin hasil pertanian kita menjadi lumbung pangan dunia.
Ada cerita, hasil karya pesawat negeri ini ditukar beras dari salah satu negara sahabat. Akan sangat mungkin hasil pertanian bagus kita, ditukar dengan teknologi tepat guna dari negara – negara adidaya.
Kata kunci untuk memulai meluruskan benang basah pertanian negeri ini adalah kesadaran untuk menjaga kesuburan tanah dan kemurnian air. Optimalisasi pengelolaan sampah organik, membangun kawasan peternakan terpadu untuk dapat mengelola kotoran ternak menjadi pupuk dasar mengembalikan kesuburan tanah. Penanaman kembali lahan – lahan kritis dengan tanaman penunjang peternakan sebagai alternatif bank pakan.
Pemetaan ulang kelompok – kelompok tani, untuk mengelola komoditas sesuai dengan potensi wilayah, bukan latah menyamakan budidaya tanaman dan ternak hanya karena dorongan keuntungan diatas kertas yang bergaung keras di media – media sosial.
Butuh kerja keras semua elemen bangsa dalam mengembalikan jalur jati diri bangsa ini sebagai negara berbasis pertanian dan desa. Merangkai ulang ekosistem yang telah timpang dengan meluruhkan ego kepentingan – kepentingan sesaat.
Program swasembada pangan pun harus diiringi dengan program menaikkan nilai tukar petani secara konsisten dan berkelanjutan. Siapapun nahkoda negeri ini, mari jadikan hasil budidaya pertanian kita menjadi tuan rumah di negeri sendiri.
*Penulis adalah pegiat pertanian sekaligus Ketua KUB Berkah Karya, Kabupaten Semarang