SUKOHARJO – Tangis dan kepedihan menyelimuti ribuan pekerja PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) yang harus menerima kenyataan pahit. Raksasa tekstil yang telah berdiri kokoh selama puluhan tahun itu resmi tutup permanen pada Sabtu (2/3/2025), meninggalkan lebih dari 10 ribu karyawan tanpa pekerjaan.
Pemutusan hubungan kerja (PHK) massal ini resmi berlaku sejak 26 Februari 2025. Jumat (28/2) kemarin menjadi hari terakhir mereka menjejakkan kaki di tempat yang selama ini menjadi sumber penghidupan. Upaya untuk mempertahankan keberlanjutan usaha telah kandas setelah Pengadilan Negeri (PN) Semarang menolak permohonan going concern yang diperjuangkan lebih dari lima bulan.
Penutupan Sritex mengakhiri perjalanan panjang empat pabrik besar: PT Bitratex Semarang, PT Sritex Sukoharjo, PT Primayudha Boyolali, dan PT Sinar Pantja Djaja Semarang. Para pekerja, yang selama ini menggantungkan harapan pada perusahaan, kini terpaksa menghadapi ketidakpastian hidup.
Wakil Menteri Ketenagakerjaan, Immanuel Ebenezer Gerungan, mengonfirmasi dampak besar dari penutupan ini. “Kami sangat prihatin dengan kondisi ini. Penutupan Sritex bukan hanya berdampak pada karyawan yang kehilangan pekerjaan, tetapi juga pada perekonomian daerah yang selama ini bergantung pada industri tekstil,” ujarnya seperti diberitakan sejumlah media.
Di tengah suasana haru, Komisaris Utama sekaligus Presiden Direktur Sritex, HM Lukminto, menemui karyawan yang telah mengabdi bertahun-tahun. Dengan mata berkaca-kaca, ia menyampaikan terima kasih atas dedikasi mereka. “Kami sudah berusaha semaksimal mungkin untuk menyelamatkan perusahaan, tetapi keadaan tidak berpihak pada kami. Terima kasih atas kerja keras dan loyalitas kalian selama ini,” katanya, suaranya terdengar berat.
Di luar gerbang pabrik, wajah-wajah muram terlihat di antara para mantan pekerja yang masih datang untuk mengurus berkas pencairan Jaminan Hari Tua (JHT). Salah satu dari mereka, Siti (42), pekerja bagian produksi yang telah mengabdi selama 15 tahun, tak kuasa menahan air mata. “Saya masih nggak percaya ini terjadi. Dari dulu kerja di sini, sekarang harus cari kerja lagi. Tapi di mana? Pabrik sudah banyak yang tutup,” ujarnya sambil mengusap wajahnya yang basah oleh air mata.
Hari ini, Sabtu siang, puluhan mantan karyawan terlihat mengantre di gedung HRD. Mereka tidak lagi mengenakan seragam kerja, melainkan pakaian bebas—tanda bahwa masa mereka di Sritex telah benar-benar berakhir. Dengan langkah berat, mereka menyerahkan berkas, lalu pulang tanpa kepastian tentang masa depan.
Di balik gerbang yang kini sepi, sisa-sisa kejayaan Sritex perlahan menghilang. Pabrik yang dulunya berdengung dengan suara mesin kini menjadi saksi bisu dari runtuhnya industri yang pernah menjadi kebanggaan.
Hari ini bukan sekadar akhir bagi Sritex, tetapi juga awal dari perjuangan baru bagi ribuan pekerja yang harus bertahan di tengah ketidakpastian. (Red)