Malam di Salatiga terasa lebih pekat dari biasanya. Angin dingin dari lereng Merbabu berembus, menyapu dedaunan yang berguguran di halaman Masjid Kauman. Dari dalam masjid, lantunan ayat suci bergema lembut, mengiringi sosok seorang lelaki tua yang berdiri tegak di serambi. Sorot matanya tajam, dipenuhi keteguhan seorang pejuang yang telah melewati badai zaman. Dialah Ki Rono Sentiko, ulama, pejuang, dan penjaga cahaya Islam di tengah gelapnya penjajahan.
Ki Rono Sentiko bukan sekadar ulama biasa. Ia adalah abdi dalem Keraton Surakarta yang sejak muda sudah menunjukkan kecemerlangan dalam ilmu agama dan strategi perang. Ketika Perang Diponegoro berkecamuk pada tahun 1825, ia memilih berdiri di sisi yang benar: berjuang demi agama dan tanah air. Namun, perjuangannya bukan dalam bentuk angkat senjata semata. Ia membangun benteng perlawanan di balik tembok Masjid Kauman, menjadikan rumah ibadah itu sebagai pusat dakwah dan strategi gerilya melawan kolonial Belanda.
Malam-malam panjang di Salatiga menjadi saksi bisu musyawarah rahasia yang dipimpin Ki Rono Sentiko. Para santri dan pejuang berkumpul di dalam masjid, menyusun siasat, menyebarkan pesan perlawanan, dan menguatkan tekad untuk mempertahankan kehormatan bangsa. Kolonial Belanda pun sadar bahwa masjid ini bukan sekadar tempat ibadah, tetapi juga jantung gerakan perlawanan. Berkali-kali serdadu mereka menginjak halaman masjid, mencari jejak pemberontakan di antara sajadah yang terhampar. Namun, mereka tidak pernah bisa menundukkan semangat yang menyala di hati Ki Rono Sentiko dan para pengikutnya.
Pada suatu malam yang tenang, Ki Rono Sentiko duduk bersila di lantai kayu masjid, dikelilingi santri-santrinya yang penuh rasa hormat. Di bawah cahaya temaram lampu minyak, ia mengajarkan mereka makna jihad bukan hanya sebagai perang fisik, tetapi juga perjuangan melawan kebodohan dan ketidakadilan. Suaranya lembut namun berwibawa, setiap kata yang ia ucapkan meresap ke dalam hati para santri yang menyimaknya dengan penuh perhatian. Ia bercerita tentang keteguhan iman, tentang pentingnya ilmu, dan tentang bagaimana keyakinan yang kuat mampu mengalahkan ketakutan. “Bukan pedang yang mengalahkan musuh, tapi hati yang tak gentar,” ujarnya, tatapan matanya menerawang jauh ke masa depan.
Perang berakhir, tapi perjuangan Ki Rono Sentiko belum usai. Ia tetap setia mengajar, membimbing masyarakat Salatiga, menjaga nilai-nilai Islam tetap hidup di tengah tekanan kolonialisme. Umurnya terus bertambah, rambutnya semakin memutih, tetapi semangatnya tak pernah pudar. Hingga akhir hayatnya, ia tetap menjadi penerang bagi masyarakatnya.
Kini, jasadnya telah lama bersemayam di pemakaman Prampelan, Blotongan, Salatiga. Namun, namanya tetap abadi dalam ingatan. Masjid Kauman yang ia bangun masih berdiri kokoh, menjadi saksi dari keteguhan seorang ulama yang tidak hanya mengajarkan doa, tetapi juga arti perjuangan.
Di setiap sujud yang khusyuk di dalam masjid itu, mungkin masih ada gema semangat Ki Rono Sentiko, mengingatkan anak-anak negeri agar tak melupakan sejarah. Agar mereka tetap berdiri tegak, seperti dirinya dahulu, dalam menjaga iman dan tanah air.
(Guruh Cahyono)